Khofifah(Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi).
Penyusunan regulasi di Indonesia seringkali dihadapkan pada permasalahan tumpang tindih dan fragmentasi peraturan yang kompleks. Sejak beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami apa yang disebut sebagai hiper-regulasi, yakni banyaknya peraturan perundang-undangan yang sering kali saling bertentangan dan tidak sinkron satu sama lain.
Pada tahun 2017 saja, tercatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 42.000 peraturan yang aktif, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian hukum, menghambat investasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Indonesia mengadopsi metode Omnibus Law yang selama ini lebih dikenal dalam sistem hukum common law seperti di Amerika Serikat dan Kanada. Omnibus Law adalah suatu metode legislasi yang memungkinkan pemerintah untuk menggabungkan berbagai perubahan terhadap beberapa undang-undang yang berbeda dalam satu undang-undang besar atau payung hukum. Dengan cara ini, regulasi yang dianggap tumpang tindih dapat disederhanakan dan diharmonisasikan tanpa harus menyusun undang-undang baru untuk setiap isu yang berbeda
Salah satu contoh penerapan metode ini di Indonesia adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020. Undang-undang ini menyatukan perubahan pada berbagai undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan, investasi, lingkungan hidup, serta sektor-sektor lainnya dalam satu regulasi. Tujuannya adalah untuk memperbaiki iklim investasi, mempermudah izin usaha, dan mendorong pertumbuhan ekonomi
Meski dianggap sebagai terobosan, penerapan Omnibus Law juga memunculkan berbagai kritik dan tantangan. Dalam implementasinya, metode ini dinilai kurang memperhatikan partisipasi publik, menghadapi masalah harmonisasi regulasi, serta menimbulkan resistensi dari berbagai kalangan masyaraka. Oleh karena itu, meskipun Omnibus Law memiliki potensi untuk menyederhanakan regulasi, metode ini juga memerlukan kajian yang lebih mendalam agar dapat diterapkan secara efektif dan adil.
Selanjutnya, artikel ini akan membahas secara lebih rinci berbagai tantangan yang dihadapi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode Omnibus Law di Indonesia.
1. Tantangan Filosofis dan Sistemik dalam Sistem Hukum Indonesia
Indonesia menganut sistem hukum civil law, yang cenderung bersifat kodifikasi dan sektoral. Dalam sistem ini, setiap undang-undang memiliki basis filosofis dan yuridis yang kuat dan mengikat, yang diturunkan dari prinsip-prinsip hukum. Penerapan metode Omnibus Law, yang pada dasarnya merupakan adopsi dari sistem common law yang lebih fleksibel, menghadirkan tantangan filosofis tersendiri. Dalam sistem civil law, tiap undang-undang disusun dengan tujuan yang spesifik dan cakupan yang jelas, sehingga penggabungan berbagai aturan berbeda menjadi satu undang-undang berpotensi mengaburkan kejelasan serta tujuan dari masing-masing aturan. Hal ini mengundang kritik terkait inkonsistensi hukum yang mungkin muncul dalam implementasi aturan yang dihasilkan oleh Omnibus Law. Prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam undang-undang yang berbeda bisa saja bertentangan ketika digabungkan menjadi satu.
2. Tantangan Demokrasi dan Partisipasi Publik
Tantangan terbesar lainnya dalam penerapan Omnibus Law adalah minimnya ruang bagi partisipasi publik. Pembentukan undang-undang di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengharuskan adanya keterlibatan publik dalam tahap penyusunan dan pembahasan undang-undang. Sayangnya, proses penyusunan Omnibus Law sering kali dianggap tidak transparan dan terburu-buru, sehingga tidak memberikan cukup waktu bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya
Proses legislasi yang cepat sering kali mengorbankan prinsip partisipasi masyarakat, padahal undang-undang yang disusun melalui metode Omnibus Law berdampak luas bagi berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kritik yang muncul sering kali terkait dengan kurangnya ruang dialog yang memadai antara pemerintah, legislatif, dan masyarakat sipil.
3. Tantangan Teknis dan Implementasi
Omnibus Law menawarkan efisiensi dalam menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih, namun tantangan teknis dalam penyusunan dan implementasinya sangat besar. Salah satu contoh konkret adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang merangkum perubahan pada lebih dari 70 undang-undang yang berbeda. Setiap perubahan dalam undang-undang ini mencakup aspek-aspek yang sangat beragam, mulai dari ketenagakerjaan, investasi, hingga lingkungan hidup. Kompleksitas ini menghadirkan tantangan besar dalam hal harmonisasi antaraturan dan sektor
Selain itu, diperlukan pengawasan ketat dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk memastikan pelaksanaan undang-undang ini berjalan efektif. Tanpa harmonisasi yang matang, penerapan Omnibus Law dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan membingungkan pihak-pihak yang terlibat.
4. Tantangan Sosiologis: Penolakan dari Berbagai Elemen Masyarakat**
Penerapan Omnibus Law sering kali menimbulkan resistensi dari masyarakat. UU Cipta Kerja, misalnya, mendapat penolakan luas dari serikat pekerja, aktivis lingkungan, hingga akademisi. Mereka menilai bahwa undang-undang ini lebih berpihak kepada investor dan pengusaha, tanpa memperhatikan dampak negatif terhadap hak-hak pekerja dan kelestarian lingkungan. Penolakan ini mencerminkan adanya tantangan sosiologis yang signifikan dalam penerapan Omnibus Law
Resistensi ini bukan hanya soal isi dari undang-undang, tetapi juga terkait dengan proses penyusunannya yang dianggap tidak demokratis. Kecepatan dalam penyusunan undang-undang ini menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan masyarakat luas.
5. Tantangan Yuridis: Inkonsistensi dan Tumpang Tindih Hukum
Salah satu tujuan utama dari penerapan Omnibus Law adalah untuk mengatasi hiper-regulasi atau obesitas regulasi yang selama ini dianggap menghambat perkembangan ekonomi di Indonesia. Pada tahun 2017, Indonesia tercatat memiliki lebih dari 42.000 peraturan perundang-undangan yang aktif. Banyaknya regulasi ini menimbulkan masalah tumpang tindih dan ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya
Namun, tantangan yuridis yang muncul adalah bagaimana memastikan bahwa Omnibus Law benar-benar dapat menyederhanakan regulasi tanpa menimbulkan masalah baru. Penggabungan berbagai undang-undang ke dalam satu peraturan dapat menciptakan inkonsistensi baru jika tidak dilakukan dengan cermat. Selain itu, proses harmonisasi lintas sektor memerlukan waktu dan sumber daya yang cukup besar
Kesimpulan
Metode Omnibus Law merupakan terobosan yang berpotensi besar dalam menyederhanakan regulasi yang kompleks di Indonesia. Namun, tantangan yang dihadapi dalam penerapannya sangat signifikan. Dari aspek filosofis dan yuridis, terdapat potensi inkonsistensi hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian.
Dari aspek teknis, harmonisasi aturan yang diatur dalam Omnibus Law membutuhkan pengawasan yang ketat dan koordinasi lintas sektor. Selain itu, tantangan demokrasi dan partisipasi publik juga harus diperhatikan agar proses legislasi yang dihasilkan lebih inklusif dan akuntabel
Oleh karena itu, penerapan Omnibus Law di Indonesia perlu dilakukan dengan sangat hati-hati, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dan memastikan transparansi serta keterlibatan publik dalam setiap tahapannya. Jika tidak, penerapan Omnibus Law bisa menjadi kontraproduktif dan justru memperburuk permasalahan regulasi yang ada.
—